Friday, August 11, 2017

Secangkir Kopi Untuk Relawan

Secangkir Kopi Untuk Relawan

koleksi google image


                Ini Novel Fact Story. Aku bukan tipikal orang yang melankolis, tapi aku akui aku jadi baper pas baca ini Novel. Bukan karena mereka-reka wajah dibalik kacamata Mas Wahid si tokoh utama yang digambarkan nyaris sempurna. Tapi orang-orang yang menisbatkan jiwa dan raganya untuk menjadi Relawan itu memang jumlahnya sedikit. Bahkan, separuh dari jumlah keseluruhan Relawan sebuah LSM belum tentu memiliki jiwa malaikat ini. (Pengalaman pribadi soalnya, tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit). Bisa jadi ada niatan lain di sela-sela aktifitas kerelawannya; apakah numpang eksis, mengisi waktu luang, ikutan teman, atau atau atau ada some one like you yang lagi diincar.

                Jadi gini, aku pernah terdaftar - (Sampai sekarang sih harusnya namaku masih ada di daftar) - di dua komunitas yang kalau dipikir-pikir sangat-sangat berseberangan. Walaupun sebenarnya aku punya alasan gabung di dua kominitas ini. Alasan hoby.
Komunitas yang pertama, komunitas relawan dari sebuah LSM. Jujur awalnya sih gegara dikompori sama komandannya. Gegara tausiyahnya tentang aktifitas kerelawanan, cakrawalaku jadi terbuka untuk menyalurkan hoby jenjalanku jadi lebih bermanfaat, dan pastinya gratis. (Hahahah, waktu itu masih mahasiswa soalnya ^^). Nah, pengalamanku jadi relawan sebenarnya sih masih sangat-sangat sedikit, tapi dari situ aku tau, aktifitas bersama para relawan adalah aktifitas bersama orang-orang ekstropert. Aktifitas orang-orang yang enggak bisa diam gitu lah.
Komunitas kedua, komunitas literasi. Kalau ini sih enggak ada yang ngompori, karena aku sadar betul, writing is my passion. Mulai dari ikutan oprect sampai akhirnya dinyatakan lulus sebagai angkatan VI waktu itu, aku belum punya kenalan sama sekali di sana. Aku tahu komunitas ini juga karena dulu sering baca-baca buku tokoh-tokoh legendarisnya, terus sering googling aktifitas mereka untuk cabang Medan_Sumut. Murni ketika gabung aku dapat kawan baru di tempat ini. Dan aku nyaman di sini. Terus kenapa berseberangan dengan komunitas pertama, karena menurutku dan bisa jadi bener sih, kebanyakan penulis itu introvert.
Kebayangkan, kalau dalam satu hari ada kegiatan di dua komunitas ini sekaligus- ini sering kejadian- pagi di komunitas pertama siangnya di komunitas kedua, aku jadi kayak manusia bunglon gitu. Dari yang ketemu orang-orang suka haha hihi, terus masuk ke rumah yang haha hihi juga tapi dengan nuansa lebih soft. Kadang-kadang aku suka ngukur-ngukur tuch, (biar keliatan orang sainsnya), seberapa besar potensiku bisa menjadi tidak waras. Eiiits...
Gegara itulah ada teman yang pernah nanya ke aku, “Na, kalau seandainya di suruh milih, kau lebih milih hidup sama relawan atau penulis?”
Asem banget kan tu pertanyaan. Nah, setelah sejenak berfikir aku jawab. “Aku lebih milih sama relawan, sih.”
“Kenapa?” (Makin asem jadinya karena si kawan ini enggak ada puasnya, tapi aku jawab juga)
“Penulis itu romantis, kita bisa kelepek-kelepek karena puisi-puisinya. Tapi relawan justru lebih romantis pas dia mengulurkan tangan, dia enggak perlu bait-bait puisi untuk menunjukkan ketulusannya.” (ayooo... siapa yang mencak-mencak karena baper???)
Oke, back to topic!
Ini novel aku baca dengan modal nyuri baca. Kenapa nyuri baca? Ya karena bukan punya sendiri, dan enggak minjam sama pemiliknya juga. Konon katanya, ada teman yang minjam ini buku, terus sama yang minjam dipinjamkan ke yang lain, begitulah sampai akhirnya sampai ke tanganku. (Maaf yaa komandan, kalau mau di minta gue kasih kok... heheh)
Ide ceritanya sih klasik. Seorang relawan ketemu jodoh saat bertugas. Kata orang-orang, hukum alamnya emang gitu kan?  jodoh itu enggak jauh-jauh. Mungkin Jogja-Banda Aceh itu jauh, tapi pasti ada jalan takdir yang menjadi benang merahnya. Yah, minimal kalo liat di peta masih bisa di ukur pakek penggaris 15 cm gitu lah...
Menurutku sisi menarik ide cerita justru bukan cerita heroik seorang relawan saat di daerah bencana. Tapi penuturan yang apa adanya. Termasuk hal-hal yang masih tergolong tabu, seperti halaqah dan taaruf. Kalau baca novelnya kak Abik pasti udah kebiasa dengan tokoh utama yang diimpi-impikan kaum hawa, tapi justru bermasalah dalam romansa percintaannya. Tapi Aa Mohammad al-Azhir ini justru menghadirkan tokoh yang banyak belajar dari orang-orang sekitarnya. Mas Wahid udah dikemas sempurna, tapi menjadi semakin kiyuut karena dihadirkannya tokoh-tokoh lain yang membuat pembaca berpikir memang beginilah dunia nyata. Manusia itu tidak ada yang benar-benar sempurna, dia butuh orang lain, butuh lingkungan, dan alam semesta untuk tempat belajar.
Kalau ada sisi kurang puas dari novel ini, itu pasti tentang kurang lengkapnya informasi mengenai konflik Aceh yang menjadi tujuan kedua si Mas Wahid selama di daerah bencana. Mungkin karena di awal aku berharap penulis memberikan informasi yang lebih lengkap tentang hal itu. Itu agak sensitif memang, dan butuh keberanian untuk mengungkapnya. Aku bukan mau bilang penulisnya kurang berani, tapi kalau seandainya informasi itu disajikan lebih banyak lagi, itu bakal meletakkan novel ini di rak-rak best seller. Whatever lah, enggak ada itu pun novel ini udah bagus kok. Bisa jadi judulnya bukan “Secangkir kopi untuk Relawan” juga kali yaak...

Terakhir, sebenarnya secangkir kopi enggak cukup sih untuk menemani baca novel ini. Kecuali kalau si pembaca yang setelah minum secangkir kopi terus jadi enggak ngantuk satu malaman. Dijamin, pas ayam berkokok, ini novel udah kelar dibaca. Lha wong enggak minum kopi bisa enggak berenti baca sebelum selesai juga kok......

No comments:

Post a Comment