Secangkir Kopi Untuk Relawan
koleksi google image
Ini Novel Fact Story.
Aku bukan tipikal orang yang melankolis, tapi aku akui aku jadi baper pas baca
ini Novel. Bukan karena mereka-reka wajah dibalik kacamata Mas Wahid si tokoh
utama yang digambarkan nyaris sempurna. Tapi orang-orang yang menisbatkan jiwa
dan raganya untuk menjadi Relawan itu memang jumlahnya sedikit. Bahkan, separuh
dari jumlah keseluruhan Relawan sebuah LSM belum tentu memiliki jiwa malaikat
ini. (Pengalaman pribadi soalnya, tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit). Bisa jadi ada
niatan lain di sela-sela aktifitas kerelawannya; apakah numpang eksis, mengisi
waktu luang, ikutan teman, atau atau atau ada some one like you yang lagi
diincar.
Jadi gini, aku pernah
terdaftar - (Sampai sekarang sih harusnya namaku masih ada di daftar) - di dua
komunitas yang kalau dipikir-pikir sangat-sangat berseberangan. Walaupun
sebenarnya aku punya alasan gabung di dua kominitas ini. Alasan hoby.
Komunitas yang pertama, komunitas relawan dari
sebuah LSM. Jujur awalnya sih gegara dikompori sama komandannya. Gegara tausiyahnya
tentang aktifitas kerelawanan, cakrawalaku jadi terbuka untuk menyalurkan hoby
jenjalanku jadi lebih bermanfaat, dan pastinya gratis. (Hahahah, waktu itu
masih mahasiswa soalnya ^^). Nah, pengalamanku jadi relawan sebenarnya sih
masih sangat-sangat sedikit, tapi dari situ aku tau, aktifitas bersama para
relawan adalah aktifitas bersama orang-orang ekstropert. Aktifitas orang-orang
yang enggak bisa diam gitu lah.
Komunitas kedua, komunitas literasi. Kalau ini sih
enggak ada yang ngompori, karena aku sadar betul, writing is my passion. Mulai
dari ikutan oprect sampai akhirnya dinyatakan lulus sebagai angkatan VI waktu
itu, aku belum punya kenalan sama sekali di sana. Aku tahu komunitas ini juga
karena dulu sering baca-baca buku tokoh-tokoh legendarisnya, terus sering
googling aktifitas mereka untuk cabang Medan_Sumut. Murni ketika gabung aku
dapat kawan baru di tempat ini. Dan aku nyaman di sini. Terus kenapa
berseberangan dengan komunitas pertama, karena menurutku dan bisa jadi bener
sih, kebanyakan penulis itu introvert.
Kebayangkan, kalau dalam satu hari ada kegiatan di
dua komunitas ini sekaligus- ini sering kejadian- pagi di komunitas pertama
siangnya di komunitas kedua, aku jadi kayak manusia bunglon gitu. Dari yang
ketemu orang-orang suka haha hihi, terus masuk ke rumah yang haha hihi juga
tapi dengan nuansa lebih soft. Kadang-kadang aku suka ngukur-ngukur tuch, (biar
keliatan orang sainsnya), seberapa besar potensiku bisa menjadi tidak waras.
Eiiits...
Gegara itulah ada teman yang pernah nanya ke aku,
“Na, kalau seandainya di suruh milih, kau lebih milih hidup sama relawan atau
penulis?”
Asem banget kan tu pertanyaan. Nah, setelah
sejenak berfikir aku jawab. “Aku lebih milih sama relawan, sih.”
“Kenapa?” (Makin asem jadinya karena si kawan ini
enggak ada puasnya, tapi aku jawab juga)
“Penulis itu romantis, kita bisa kelepek-kelepek
karena puisi-puisinya. Tapi relawan justru lebih romantis pas dia mengulurkan
tangan, dia enggak perlu bait-bait puisi untuk menunjukkan ketulusannya.”
(ayooo... siapa yang mencak-mencak karena baper???)
Oke, back to topic!
Ini novel aku baca dengan modal nyuri baca. Kenapa
nyuri baca? Ya karena bukan punya sendiri, dan enggak minjam sama pemiliknya
juga. Konon katanya, ada teman yang minjam ini buku, terus sama yang minjam
dipinjamkan ke yang lain, begitulah sampai akhirnya sampai ke tanganku. (Maaf
yaa komandan, kalau mau di minta gue kasih kok... heheh)
Ide ceritanya sih klasik. Seorang relawan ketemu
jodoh saat bertugas. Kata orang-orang, hukum alamnya emang gitu kan? jodoh itu enggak jauh-jauh. Mungkin
Jogja-Banda Aceh itu jauh, tapi pasti ada jalan takdir yang menjadi benang
merahnya. Yah, minimal kalo liat di peta masih bisa di ukur pakek penggaris 15
cm gitu lah...
Menurutku sisi menarik ide cerita justru bukan
cerita heroik seorang relawan saat di daerah bencana. Tapi penuturan yang apa
adanya. Termasuk hal-hal yang masih tergolong tabu, seperti halaqah dan taaruf.
Kalau baca novelnya kak Abik pasti udah kebiasa dengan tokoh utama yang
diimpi-impikan kaum hawa, tapi justru bermasalah dalam romansa percintaannya.
Tapi Aa Mohammad al-Azhir ini justru menghadirkan tokoh yang banyak belajar
dari orang-orang sekitarnya. Mas Wahid udah dikemas sempurna, tapi menjadi
semakin kiyuut karena dihadirkannya tokoh-tokoh lain yang membuat pembaca
berpikir memang beginilah dunia nyata. Manusia itu tidak ada yang benar-benar
sempurna, dia butuh orang lain, butuh lingkungan, dan alam semesta untuk tempat
belajar.
Kalau ada sisi kurang puas dari novel ini, itu
pasti tentang kurang lengkapnya informasi mengenai konflik Aceh yang menjadi
tujuan kedua si Mas Wahid selama di daerah bencana. Mungkin karena di awal aku
berharap penulis memberikan informasi yang lebih lengkap tentang hal itu. Itu
agak sensitif memang, dan butuh keberanian untuk mengungkapnya. Aku bukan mau
bilang penulisnya kurang berani, tapi kalau seandainya informasi itu disajikan
lebih banyak lagi, itu bakal meletakkan novel ini di rak-rak best seller.
Whatever lah, enggak ada itu pun novel ini udah bagus kok. Bisa jadi judulnya
bukan “Secangkir kopi untuk Relawan” juga kali yaak...
Terakhir, sebenarnya secangkir kopi enggak cukup
sih untuk menemani baca novel ini. Kecuali kalau si pembaca yang setelah minum
secangkir kopi terus jadi enggak ngantuk satu malaman. Dijamin, pas ayam
berkokok, ini novel udah kelar dibaca. Lha wong enggak minum kopi bisa enggak
berenti baca sebelum selesai juga kok......
No comments:
Post a Comment