Friday, August 11, 2017

Riview Codex: Novel adalah cara baru untuk menyampaikan kebenaran

koleksi google image

Novel ini diterbitkan pertama kali pada Mei 2010. Meski sudah memasuki tahun ke delapan sejak cetakan pertamanya diedarkan, apa yang diungkapkan novel ini rasanya semakin nyata untuk kondisi sekarang. Penulisnya berhasil membuat adrenalinku semakin bersemangat menjadikan novel sebagai media dakwah
.
Meski demikian, sebagai sarjana sains, Rizki Ridyasmara juga berhasil membuat urat takutku naik hingga ke ubun-ubun. Fakta-fakta yang diungkapkan penulis adalah tentang terbunuhnya ilmuwan-ilmuwan yang terkesan tidak wajar. Sudah menjadi hukum alam memang, pelaku kejahatan selalu tidak ridha dengan kemenangan para pelaku kebaikan.
Tindakan konspirasi seringkali dikaitkan dengan keyakinan penganut paganisme. Apapun yang melatarbelakanginya, dan apapun akibat yang disebabkannya, selalu saja dilatarbelakangi oleh sebuah keyakinan. Dan ketika misi ini akhirnya terungkap ke permukaan, mustahil rasanya jika masih ada yang bulu kuduknya tidak bergidik ngeri. Apakah karena kelicikannya, terlebih karena kekejamannya.
Secara keseluruhan isi novel ini mengungkapkan tentang sebuah rencana rahasia Amerika Serikat, depopulation program. Pasangan suami-istri yang memutuskan bercerai secara baik-baik dipilih menjadi tokoh utamanya. Alda Adrina, seorang doktor dari Italia dan George Marshal, mantan sniper dari Australian SAS yang akhirnya memutuskan menjadi penulis novel di Indonesia setelah melihat adanya ketidakberesan dalam serangan Amerika ke Afghanistan.
Pilihan Italia dan negara kecil di dalamnya, San Marino, sebagai latar cerita tampaknya memang sangat sinkron dengan tema utama cerita. Pembaca yang merasa ngeri dengan fakta-fakta yang diungkapkan, seakan dimanjakan dengan panorama Venesia. Apakah itu penggambaran wilayah pedesaannya atau kenikmatan dan keharuman kopi ekspressonya.
Tema cerita bisa jadi tentang Codex, zat-zat beracun yang dipergunakan untuk mengurangi jumlah penduduk dunia secara perlahan. Namun, daya tarik novel ini justru pengungkapan tentang Tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir 2004 lalu. Kalau dipikir-pikir, peristiwa yang disebut-sebut sebagai duka dunia itu memang sedikit ganjil. Dimana media hanya menyorot bagian barat Aceh. Sementara daerah timur yang berbatasan dengan Selat Malaka, yang sebagian besar daerahnya menjadi markas Anggota Militer Aceh Merdeka (AGAM) justru senyap.
Dan, kejadian mengerikan 13 tahun silam itu sepertinya memang berhasil menyapu bersih konflik Aceh. Kalaupun masih ada, setidaknya itu tidak sekeras masa-masa kependudukan tentara GAM dulu. Aku teringat tentang sepupu mama yang mendapat tugas di Aceh sebelum masa reformasi dulu. Bersama orang-orang bukan penduduk Aceh lainnya, mereka harus keluar Aceh dengan perbekalan seadanya.
Meski demikian, beberapa temanku yang dari Aceh mengaku bahwa sekejamnya GAM di mata orang luar, mereka justru merasa jauh lebih baik saat berada di tengah-tengah GAM. Pernyataan ini tampaknya memang selayaknya dapat dibenarkan, mengingat mulai bebasnya para misionaris masuk ke tanah Serambi Mekah ini pasca Tsunami. Bukan hanya itu, investor asing juga mulai masuk menjarah hasil alam Aceh yang hasilnya justru tidak dinikmati masyarakatnya sendiri.
Begitulah konspirasi bekerja. Menawarkan kebaikan untuk orang banyak, padahal kebaikan itu justru untuk kalangannya sendiri. Bahkan, setelah publikasi tentang depopulation ini menyebar sebagian besar orang justru masih tidak percaya. Kita menikmati kemudahan yang ditawarkan tegnologi. Apakah itu melalui makanan, obat-obatan bahkan media. Sampai-sampai kita menutup mata dengan fakta semakin banyaknya pengidap kanker dan penyakit-penyakit mematikan lainnya dari tahun ke tahun.
Minat baca memang mengalami penurunan secara global, terlebih Indonesia yang tertinggal jauh bahkan oleh negara-negara tetangganya. Padahal, dengan membacalah kita bisa membuka cakrawala dunia. Walaupun pasti keranjingan membaca timeline di akun medsos terus meningkat.

Harusnya, kemunculan novel Kodex ini bisa membangkitkan semangat baca kita. Seyogyanya membaca novel yang seringkali dikemas dengan kisah romansa jauh lebih menarik ketimbang membaca buku non-fiksi, dan itu jauh lebih baik ketimbang menanggapi status teman-teman kita di media sosial, bukan?

No comments:

Post a Comment