koleksi google image
Novel ini diterbitkan pertama kali pada Mei 2010. Meski sudah memasuki
tahun ke delapan sejak cetakan pertamanya diedarkan, apa yang diungkapkan novel
ini rasanya semakin nyata untuk kondisi sekarang. Penulisnya berhasil membuat
adrenalinku semakin bersemangat menjadikan novel sebagai media dakwah
.
Meski demikian, sebagai sarjana sains, Rizki
Ridyasmara juga berhasil membuat urat takutku naik hingga ke ubun-ubun.
Fakta-fakta yang diungkapkan penulis adalah tentang terbunuhnya ilmuwan-ilmuwan
yang terkesan tidak wajar. Sudah menjadi hukum alam memang, pelaku kejahatan
selalu tidak ridha dengan kemenangan para pelaku kebaikan.
Tindakan konspirasi seringkali dikaitkan dengan
keyakinan penganut paganisme. Apapun yang melatarbelakanginya, dan apapun
akibat yang disebabkannya, selalu saja dilatarbelakangi oleh sebuah keyakinan.
Dan ketika misi ini akhirnya terungkap ke permukaan, mustahil rasanya jika
masih ada yang bulu kuduknya tidak bergidik ngeri. Apakah karena kelicikannya,
terlebih karena kekejamannya.
Secara keseluruhan isi novel ini mengungkapkan
tentang sebuah rencana rahasia Amerika Serikat, depopulation program. Pasangan
suami-istri yang memutuskan bercerai secara baik-baik dipilih menjadi tokoh
utamanya. Alda Adrina, seorang doktor dari Italia dan George Marshal, mantan
sniper dari Australian SAS yang akhirnya memutuskan menjadi penulis novel di Indonesia
setelah melihat adanya ketidakberesan dalam serangan Amerika ke Afghanistan.
Pilihan Italia dan negara kecil di dalamnya, San
Marino, sebagai latar cerita tampaknya memang sangat sinkron dengan tema utama
cerita. Pembaca yang merasa ngeri dengan fakta-fakta yang diungkapkan, seakan
dimanjakan dengan panorama Venesia. Apakah itu penggambaran wilayah pedesaannya
atau kenikmatan dan keharuman kopi ekspressonya.
Tema cerita bisa jadi tentang Codex, zat-zat
beracun yang dipergunakan untuk mengurangi jumlah penduduk dunia secara
perlahan. Namun, daya tarik novel ini justru pengungkapan tentang Tsunami yang
terjadi di Aceh pada akhir 2004 lalu. Kalau dipikir-pikir, peristiwa yang
disebut-sebut sebagai duka dunia itu memang sedikit ganjil. Dimana media hanya
menyorot bagian barat Aceh. Sementara daerah timur yang berbatasan dengan Selat
Malaka, yang sebagian besar daerahnya menjadi markas Anggota Militer Aceh
Merdeka (AGAM) justru senyap.
Dan, kejadian mengerikan 13 tahun silam itu
sepertinya memang berhasil menyapu bersih konflik Aceh. Kalaupun masih ada,
setidaknya itu tidak sekeras masa-masa kependudukan tentara GAM dulu. Aku
teringat tentang sepupu mama yang mendapat tugas di Aceh sebelum masa reformasi
dulu. Bersama orang-orang bukan penduduk Aceh lainnya, mereka harus keluar Aceh
dengan perbekalan seadanya.
Meski demikian, beberapa temanku yang dari Aceh
mengaku bahwa sekejamnya GAM di mata orang luar, mereka justru merasa jauh
lebih baik saat berada di tengah-tengah GAM. Pernyataan ini tampaknya memang selayaknya
dapat dibenarkan, mengingat mulai bebasnya para misionaris masuk ke tanah
Serambi Mekah ini pasca Tsunami. Bukan hanya itu, investor asing juga mulai
masuk menjarah hasil alam Aceh yang hasilnya justru tidak dinikmati
masyarakatnya sendiri.
Begitulah konspirasi bekerja. Menawarkan kebaikan
untuk orang banyak, padahal kebaikan itu justru untuk kalangannya sendiri.
Bahkan, setelah publikasi tentang depopulation ini menyebar sebagian besar
orang justru masih tidak percaya. Kita menikmati kemudahan yang ditawarkan
tegnologi. Apakah itu melalui makanan, obat-obatan bahkan media. Sampai-sampai
kita menutup mata dengan fakta semakin banyaknya pengidap kanker dan
penyakit-penyakit mematikan lainnya dari tahun ke tahun.
Minat baca memang mengalami penurunan secara
global, terlebih Indonesia yang tertinggal jauh bahkan oleh negara-negara
tetangganya. Padahal, dengan membacalah kita bisa membuka cakrawala dunia.
Walaupun pasti keranjingan membaca timeline di akun medsos terus meningkat.
Harusnya, kemunculan novel Kodex ini bisa
membangkitkan semangat baca kita. Seyogyanya membaca novel yang seringkali
dikemas dengan kisah romansa jauh lebih menarik ketimbang membaca buku
non-fiksi, dan itu jauh lebih baik ketimbang menanggapi status teman-teman kita
di media sosial, bukan?
No comments:
Post a Comment